December 03, 2011

Tulus

Sebenarnya ini semua masalah ketulusan. Kalau kita memberinya dengan tulus, seharusnya tidak mengharapkan balasan sama sekali. Mau sebesar apapun pemberian kita atau sebanyak apapun pengorbanan kita. Kalau kita tulus memberi, menggenggam, memeluk, menyayangi, mencintai, maka seharusnya tidak ada rasa marah dan kesal. Kesal karena tidak diberi, digenggam, dipeluk, disayang, dicinta. Marah karena tidak mendapatkan apa yang sudah kita berikan. Berarti tidak ada ketulusan di dalamnya. Mungkin ini bukan masalah seberapa besarnya rasa sayang atau cinta, tapi ini masalah ketulusan yang tidak dipunyai. Selama kita masih belum mendapatkan hal-hal yang adalah hak kita, yang pantas kita dapatkan, selama itulah kita akan terus merasa kesal dan marah. Bukan masalah banyaknya waktu yang dihabiskan untuk orang yang melupakannya begitu semua selesai. Bukan masalah momen yang diingat-ingat terus hingga tahun-tahun selanjutnya. Bukan masalah itu semua. Ini semua masalah ketulusan. Memberi tanpa mengharapkan apapun sebagai balasannya. Ini lebih seperti rasa kesal pada diri sendiri, dan penyesalan karena sudah memberikan begitu banyak, terlalu banyak. Dan mengharap terlalu banyak. Sekali lagi, tidak ada ketulusan di dalamnya.
Menumbuhkan rasa tulus tanpa pamrih itu kenapa sulit sekali? Terus menerus mengungkit kejadian yang sudah lewat, terus mendikte apa yang harusnya ia lakukan kita dapatkan. Terus merecoki hidupnya karena kita merasa mereka belum berhak pergi karena belum memberikan apa yang kita inginkan.
Untuk ketidaktulusan itu. Maafkan saya. Maafkan saya yang ternyata belum tulus. Yang masih mengharapkan banyak hal, yang masih terus kecewa, yang masih terus mengungkit, yang terus berkubang dalam kesalah.
Ya. Maafkan saya.